Awal kunjungan kami ke Desa Sawarna kami mendapati sebuah pantai dengan pasir putihnya dan ombaknya yang besar. Sebagai salah satu objek wisata desa Sawarna tidak hanya menyajikan keindahan pantainya saja,
hamparan pasir putih berdampingan dengan hamparan padi yang kuning, di balik bukitnya dan rimbunnya hutan terdapat goa-goa dan air terjun.
Tidak seperti Kuta Bali dan Senggigi Lombok, pantai Sawarna masih sangat sepi dan benar-benar masih perawan. Dibandingkan dengan anyer dan carita yang sudah sangat ramai, Sawarna bagaikan anak tiri di propinsi Banten. Sawarna masih kalah dengan saudaranya di Pelabuhan Ratu, tidak ada campur tangan pemda setempat. Sarana dan prasarana ke Sawarna pun masih sangat minim serta akses jalan yang rusak, dan semuanya yang masih di urusi oleh penduduk setempat.
Tidak aneh jika masih terdengar asing di telinga wisatawan lokal, karena tidak ada promosi besar-besaran. Semua hanya dari mulut ke mulut dan tulisan-tulisan di internet. Padahal keindahan pantai Sawarna sampai terkenal di luar negeri, sudah banyak wisatawan asing yang berkunjung. Sungguh ironi Sawarna seperti tanah asing di negerinya sendiri, padahal jika di kembangkan bisa menjadi salah satu andalan propinsi Banten. Penduduk aslinya pun sebagian besar masih bermata pencaharian petani dan nelayan, belum bisa bergantung kepada pariwisata. Akibatnya tingkat perekonomiannya pun masih sangat rendah, inilah mungkin yang di sebut sebagai "kemiskinan di balik keindahan"
Bagai pisau bermata dua, promosi sawarna besar-besaran akan menaikkan taraf hidup masyarakatnya,
kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara akan meningkat.
Tapi siapa yang akan menjamin Sawarna tidak akan seperti Kuta bali? atau pantai Anyer? kotor dan terlalu ramai.
Atau biarkanlah Sawarna seperti si cantik yang kesepian??
Yang kelestarian alamnya masih sangat terjaga, dan masih ada senyum ramah warganya menyambut kedatangan para wisatawan.