Rabu, 02 Februari 2011

Sempu Sebagai Cagar Alam



Sebenarnya ada keraguan ketika akan ke Pulau Sempu, dikarenakan himbauan dari teman saya tentang harusnya memakai Surat Ijin Memasuki Cagar Alam (SIMAKSI) yang bisa dibuat di kota Surabaya atau Banyuwangi.

“Ingat mas bro.., pecinta alam yang baik taat pada peraturan.” kata teman saya itu.
“ Kalo saya bisa mengurus dari Jakarta tanpa harus ke kota Surabaya atau Banyuwangi saya mau aja ngurusnya mas bro..” tapi persyaratan mengenai SIMAKSI yang hanya akan dikeluarkan untuk tujuan penelitian dan harus ada cap resmi dari organisasi Pecinta Alam tempat bernaung membuat saya melupakan jauh-jauh surat itu, saya bukan berasal dari organisasi pecinta alam manapun. Seberapa pentingnya sih surat SIMAKSI ini untuk kita dapat di izinkan masuk ke Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu?? Saya mencoba mencari info di internet, bertanya kepada teman-teman yang pernah ke sana dan chating dengan teman-teman backpacker yang juga pernah ke sana. Rata-rata mereka tidak memakai SIMAKSI, cukup membayar kepada petugas kehutanannya.


“Walau pakai surat SIMAKSI, ujung-ujungnya teman saya disuruh membayar juga” kata teman backpacker saya.

Nah loo..kalo begitu kenapa saya harus nurut peraturan kalo yang lainnya melanggar peraturan, kenapa saya harus lewat pintu depan kalo bisa lewat pintu belakang?? Mental orang Indonesia kembali terbentuk.:D

Sesampainya di sana, di kantor Pusat Konservasi Pulau Sempu, cerita yang saya dengar dari orang-orang yang pernah ke Sempu saya alami juga di sini. Pertama-tama si petugas akan menjelaskan tentang surat SIMAKSI, lalu tentang kebijakan yang bisa dibuatnya yang memutuskan si pengunjung bisa masuk ke Pulau ini atau tidak. Secara jelas sebenarnya memang tidak ada kata-kata harus membayar biaya segini untuk bisa masuk ke Pulau Sempu, karena memang bukan biaya resmi dan juga tidak ada asuransinya kalo terjadi apa-apa di dalam pulau.

“Jangan tanya ke yang punya kapal atau nelayan  yang akan membantu menyebrang, tentang boleh tidaknya masuk ke Pulau Sempu. Saya yang membuat kebijakan boleh-tidaknya kalian masuk ke Pulau Sempu. Kalo tanya nelayan, mereka pasti bilang boleh karena mereka juga mikirin perut. Tapi kalo terjadi apa-apa yang bertanggung jawab tetap di sini.” Kata si petugas. Tapi kalo tidak salah teman saya disuruh mengisi buku tamu dan tanda tangan di atas selembar kertas yang isinya jika terjadi apa-apa maka pihak kehutanan tidak bertanggung jawab.

Dan memang untuk bisa menyeberang ke Pulau Sempu kami harus memperlihatkan Surat Ijin yang kami dapatkan dari Kantor Kehutanan kepada nelayan yang akan mengantar kami. Tapi tentang cerita orang yang bisa menyeberang dari Tempat Pelelangan Ikan tanpa perlu Surat Ijin kami tidak tahu bagaimana caranya. Karena memang jarak Pulau Sempu dan pantai Sendang Biru itu dekat, dan sepertinya cukup gampang untuk menyelundupkan orang ke sana.

Mendapati fakta bahwa banyak sampah sepanjang jalan dan di Sekitar danau Segara Anakan cukup kecewa juga. Masih ada saja orang-orang yang tidak peduli lingkungan, hanya mau menikmati saja tanpa peduli ikut menjaganya. Dan sebagian besar sampah-sampah itu adalah sampah-sampah plastik seperti botol-botol aqua dan bungkus-bungkus indomie, ada juga sih botol-botol beling dan celana atau terpal tenda. Padahal bumi membutuhkan waktu ribuan tahun untuk dapat mencerna sampah-sampah plastik itu semua. Mengharap ada orang lain yang memungut dan membawakannya?? Itu cuma harapan kosong dari orang yang keletihan. Karena dari yang saya alami, agak malas juga jika harus memungut semua sampah plastik di sepanjang jalan dan menyelipkan di kantong-kantong tas atau saku celana. Kalo sudah penuh semua, ya terpaksa berhenti memungut sampah. Sempat kecewa juga pada hari yang sama berjumpa dengan rombongan yang berjumlah “lima puluh tujuh orang!” tak ubahnya seperti pantai wisata karnaval saja. Mencoba berandai-andai untuk mengurangi sampah-sampah di Pulau Sempu, bagaimana jika pengunjung yang datang ke Pulau Sempu di larang membawa wadah minuman dari botol Aqua atau sejenisnya yang gampang sekali dibuang, seharusnya cukup membawa dirigen-dirigen air yang menurut saya agak sayang juga membuang dirigen air apabila telah selesai dipakai. Dan melarang segala makanan instant yang ada bungkusannya, bawa logistik mentah yag benar-benar untuk dimasak seperti beras, sayuran, telur dengan menggunakan bungkusan ramah lingkungan. Mencoba berandai-andai juga seandainya ada pembatasan jumlah pengunjung tiap bulan seperti yang terjadi di TNGP Gede-Pangrango untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam.

Dan yang terpenting, datanglah dengan niat untuk bertamu dan singgah sebentar dengan menghormati tuan rumah, bukan dengan niat menguasai dan menaklukannya :D


2 komentar:

  1. eh kirain anak mapala situ hehe,
    wah pengen banget ke Sempu :D

    BalasHapus
  2. bukan kok, lebih enak jadi solo backpacker.
    bisa pergi dengan siapa aja asal budget dan tujuan sesuai :D

    BalasHapus