Rabu, 04 Agustus 2010

Bromo


Beberapa kali singgah di kota Malang, tetapi belum pernah menginjakkan kaki ke Bromo membuat saya penasaran. Lagi-lagi karena masalah klasik, tidak ada teman untuk di ajak sharing biaya untuk backpacker ke bromo. Tapi kali ini secara kebetulan sebelum hari H ada teman kampus saya yang akan main ke Malang juga ngantar adeknya ujian di Brawijaya, langsung saja saya ajak untuk joint ke Bromo dan dia langsung setuju, setidaknya pergi berempat lebih baik daripada cuma pergi berdua. Akhirnya kami  janjian untuk ketemuan di kota Malang saja.

Esok harinya kami bertemu di kampus Brawijaya, lalu bersama-sama menuju kontrakan temannya di dekat kampus Brawijaya untuk menyiapkan segala perlengkapan. Rencana kami adalah, kami akan menuju Probolinggo dari kota Malang siang ini, kemudian dilanjutkan dari terminal Probolinggo ke desa Cemoro Lawang, desa terakhir di kaki gunung Bromo. Sempat pula ditawarkan dipinjamkan motor untuk ke Bromo, tetapi karena gak ada yang tahu jalan kalo naik motor jadi tawaran itu kami tolak.

Entah siapa yang pertama mencetuskan ide untuk rental mobil, tapi waktu ada yang mengusulkan untuk rental mobil banyak teman-teman anak malang yang mau ikut juga. Apalagi ada yang tau sewa mobil murah di kota Malang. Waktu itu pilihan mobilnya adalah, Xenia harga Rp. 200.000 dan Terrios harga Rp 250.000. Mengingat medan yang akan dilalui ke bromo sangat berat dan penuh dengan tanjakan, akhirnya kami setuju untuk ambil Terrios walaupun agak mahal. Sesuai rencana, kami akan berangkat tengah malam agar bisa sampai di sana menjelang Sunrise.

pukul 01.00 WIB
Kami mulai berkemas, semua siap dengan jaketnya masing-masing. Beberapa teman saya malah memakai lebih dari satu jaket. Akhirnya tepat pukul satu dini hari kami berangkat dari Malang menuju Bromo melalui jalur Pasuruan. Jalur yang kami lalui sangat sepi di malam hari, pertama-tama kita akan melewati perkampungan penduduk dan lebih ke dalam lagi kami harus masuk hutan dan sepanjang jalan sangat gelap. Beruntung langit pada malam itu sangat bagus, penuh dengan bintang dan bulan bersinar terang. Udara dingin sudah mulai terasa diluar , kami pun mulai menaikkan kaca mobil. Bagi yang tidak terbiasa melalui jalur bromo via Pasuruan malam hari mungkin merasa ngeri, karena selain jalannya tidak begitu besar, kiri-kanannya hutan dan jurang, naik turun bukit dan gelap gulita, pasti yang terpikir adalah aman gak nih?? Tapi tidak usah khawatir, walaupun jalan ini sangat sepi, gelap dan horror abis tapi masih aman. Kadang-kadang di sepanjang jalan kami bertemu dengan orang-orang yang akan pergi ke bromo juga naik sepeda motor atau mobil. Yang harus di perhatikan adalah jalannya, karena kadang-kadang kita bertemu pertigaan yang sama sekali tidak ada papan penunjuk jalannya. Untungnya teman saya ini masih inget jalan, karena dia pernah lewat jalan ini naik motor.

Akhirnya pos pendakian bromo terlihat juga, mobil kami di berhentikan oleh petugas sana. Katanya mobil sudah tidak boleh masuk ke atas mulai 1 April 2010, dan sebagai gantinya kami semua harus turun menyewa hardtop untuk sampai puncak dan kawah bromo. Ahhh… sial, gak ada yang tahu peraturan baru ini. Sia-sia aja kami rental mobil buat ke bromo, padahal tujuannya untuk berhemat tetapi ujung-ujungnya harus sewa hardtop juga buat ke atas. Akhirnya kami bilang kepada petugasnya kalo akan parkir mobil di atas di desa Cemoro Lawang.

Pukul 03.40 WIB
Kami sampai di Cemoro Lawang, desa terakhir menuju Bromo. Turun dari mobil saya masih memakai kaos dan belum merasakan udara dingin. Sweter masih saya tenteng dan jaket masih di dalam tas, baru beberapa langkah dan belum sempat saya bangga dengan berjalan-jalan hanya memakai selembar kaos, udara dingin Cemoro Lawang mulai terasa. Saya pun buru-buru memakai sweter yang saya tenteng dan membongkar tas untuk mengambil jaket. Beberapa pedagang sarung tangan dan kupluk menghampiri kami menawarkan barang dagangannya dengan sarung menutupi seluruh tubuhnya ala ninja. Seorang calo hardtop menghampiri kami dan menawarkan kendaraan untuk ke bromo, tapi harga yang di tawarkan masih sangat mahal. Hardtop seharga 350 ribu untuk kedua lokasi penanjakan dan kawah bromo dengan kapasitas maximal 6 orang tidak lebih, sedangkan kami datang berdelapan. Kami masih pikir-pikir dulu, dan menuju warung untuk menghangatkan tubuh dan memesan minuman. Harga yang di tawarkan jauh dari harga hardtop yang ditawarkan di bawah tempat kami pertama kali diberhentikan yaitu seharga 250 ribu, dan saya juga tahu harga standar hardtop adalah sekitar 250 ribu. Sialnya yang nawarin kendaraan ke kami cuma satu orang, dan dia bener-bener bisa memonopoli harga. Pilihannya cuma naik kendaraan yang dia tawarkan atau tidak. Dua orang teman saya bilang karena kapasitas hardtop cuma maksimal 6 orang, yang belum pernah ke bromo naik aja pakai hardtop, karena mereka berdua sudah pernah ke bromo mereka mengalah menunggu kami di mobil saja. Tapi saya dan teman-teman yang lain tidak enak, masa datang berdelapan sampai sini yang naik ke atas cuma berenam. Akhirnya setelah lama berunding dan nego harga kami memutuskan untuk naik mobil bak terbuka ke bromo karena bisa memuat banyak orang dengan harga 375 ribu ke empat lokasi, Penanjakan, Kawah Bromo, Pasir Berbisik dan Bukit Teletubies (seharusnya bisa lebih murah, tapi karena ada monopoli harga jadi harganya segitu). Okey.., sip walaupun harus dengan kendaraan bak terbuka dan pasti di jalan dingin banget yang penting kebersamaan, dan untungnya semua cowo-cowo dan gak ada yang protes.

Kami diberitahu oleh calo hardtop itu untuk berjalan melewati pos menuju ke bromo supaya tidak di kenakan karcis masuk Rp 4.500 / orang,
“bilang saja mau jalan kaki, jangan mau kalo di suruh bayar” begitu kata si calo.
Kami menurut saja, saya jalan paling depan mencoba tidak mempedulikan begitu di panggil petugas, tapi yang ada kami malah di marahin sama petugas dan dapet ceramah pagi buta itu. Rombongan yang jalan di belakang kami berhasil lolos dengan bilang masih rombongan kami, siaaal..
Diem-diem saya dan teman saya ipul menyelinap kabur dari omelan si petugas dan langsung melewati pos penjagaan menuju atas, teman-teman saya yang lain masih di dalam kantor. (“yeeahh…akhirnya bisa juga lolos dari ceramah pagi buta ini.hahaa..). Tidak lama kemudian mereka nyusul ke atas,
“ Bayar tiket masuk gak lo? “ tanya saya.
“ Bayar buat delapan orang” jawab teman saya.
“Aahh….assuuuu ngapain dunk tadi gue sama si ipul kabur, kalo bayarnya tetap berdelapan”
Yaa..udahlah, tiket masuk cuma 4.500/orang, lagian dimana-mana tempat wisata tuh pasti ada tiket masuknya. Kita aja yang terlalu nurut sama tuh calo.hahaaa….

Akhirnya mobilnya datang juga, belum sempat kesal kami hilang sama tuh calo tiba-tiba rombongan yang jalan di belakang kami ikut naik mobil ini juga. Lohh..jadi mobil ini gak di sewa sama rombongan kita doank?? Tapi bareng-bareng, perjanjiannya kan gak begitu. Di atas mobil kami bener-bener merasa di tipu sama tuh calo, apalagi pas tahu mereka menyewa dengan harga yang lebih murah dari kami. Sial berarti tuh calo dapet ongkos sewa 2 kali lipat dunk, kalo tahu gitu kenapa gak kita gabung aja sama rombongan ini biar lebih murah. Tiba di penanjakan, teman saya yang berbadan besar langsung menegur si supir. Mau ribut, gak enak juga ini tempat umum dan daerah orang. Ya udah lupakan saja, si supir juga kayanya udah takut di tegur teman saya,
“ Lain kali caranya jangan kaya gitu bang..“ kata teman saya.
Dan seperti yang sudah terbayang jika menyewa kendaraan bareng rombongan lain adalah saling tunggu karena tiap rombongan punya acara masing-masing.

Penanjakan

Tiba di penanjakan, ternyata sudah ramai oleh orang-orang yang ingin melihat sunrise. Beberapa pedagang menawari kami untuk sewa jaket dan syal. Udara pagi itu yang dingin membuat saya ingin buang air kecil melulu, mungkin ini adalah salah satu cara tubuh beradaptasi pada lingkungan dingin. Untuk dapat melihat matahari terbit dengan pemandangan kawah bromo dan gunung semeru kami harus berjalan naik tangga ke atas, pada saat menaiki anak tangga angin pagi itu bertiup sangat kencang dan benar-benar sangat dingin. Untung saja saya memakai jaket gunung berjenis windbraker, jadi bisa sedikit mengurangi rasa dingin pagi itu. Tapi yang membuat saya tidak tahan adalah bagian bawah saya yang memakai celana jeans, kaki saya benar-benar terasa dingin menembus celana. Lalu terasa sakit di sekitar hidung, mungkin karena nafas yang kita hembuskan langsung bercampur dengan udara dingin.

Sesampainya di atas ternyata sudah ramai oleh orang-orang yang sebagian besar adalah turis mancanegara. Semua orang sibuk bersiap-siap melihat matahari terbit, persis sama ketika menunggu detik-detik pergantian hari di tahun baru. Dua orang teman saya sibuk berkeliling berfoto dengan bule-bule, teman saya yang lain memilih mencari bangku kosong untuk bisa tidur, sedangkan saya duduk menghadap arah yang berbeda terus memandang gunung semeru. Sesekali terlihat kilatan cahaya dari puncak Semeru, mungkin itu adalah cahaya lampu dari orang-orang yang pagi itu mendaki menuju puncak Semeru dan suatu hari nanti saya juga akan berada di puncak Semeru itu.

Udara pagi itu di penanjakan sebelum matahari terbit sangat dingin, beberapa pasangan mencoba menghangatkan diri sambil berpelukan. Teman saya yang sudah tidak tahan dengan dinginnya udara pagi itu langsung memeluk teman saya yang lain sambil berteriak-teriak “I don’t care.., I don’t care…”. Dua orang bule di belakangnya cuma bisa tersenyum, mungkin mengira mereka pasangan homo.

Saking dinginnya udara pagi itu, sampai membuat jari-jari tangan seperti mati rasa. Pada saat membeli pisang goreng di atas saya sempat protes ke si penjual kalo pisangnya gak ada yang hangat, padahal pisang goreng yang saya makan itu baru diangkat dari penggorengan.hahaa..

Kawah Bromo
Perjalanan menuju kawah bromo tidak sedingin pada saat ke Penanjakan. Dari Penanjakan kita turun ke bawah menuju kawah Bromo, cukup jauh dan kondisi jalannya rusak dan penuh tikungan tajam. Tiba di sekitar lokasi kawah Bromo sudah berjejer puluhan hardtop yang di sewa para wisatawan. Dari tempat parkir menuju kawah kami harus berjalan selama sekitar 20 menit, berulang kali saya ditawarin untuk naik kuda sampai di bawah anak tangga menuju puncak, tapi saya tolak dengan alasan ingin menikmati perjalanan dengan berjalan kaki. Debu-debu yang berterbangan dari langkah kaki kuda-kuda yang lewat agak mengganggu sepanjang perjalanan. Berulang kali saya harus berhenti dan melindungi muka saya dengan tangan. Jalan yang berpasir juga agak menyulitkan langkah, terutama saat turun walaupun jalannya sudah ada.


Menjelang tangga menuju kawah bromo, kami beristirahat. Teman saya tampak sudah kepayahan berjalan. Ternyata anak tangga menuju kawah bromo tidak seperti yang saya bayangkan dari yang saya baca di cerita-cerita. Saya pikir akan ada beribu-ribu anak tangga menuju kawah bromo, tapi ternyata cuma ada mungkin sekitar 200 anak tangga. Saya pun langsung berlari menaiki anak tangga sampai menuju kawah. Tetapi jangan coba-coba berlari turun kalo tidak mau jatuh  terguling-guling ke bawah karena anak tangganya sangat kecil-kecil. Sesampainya di kawah tercium bau belerang, sama seperti di tangkuban perahu. Sebenarnya saya sangat ingin berjalan mengelilingi kawah, tapi teman-teman saya sudah pengen balik lagi ke bawah karena teman-teman yang lain sudah menunggu di mobil.


Pasir Berbisik dan bukit teletubies
 Perjalanan di lanjutkan ke Pasir Berbisik dan bukit teletubies. Pasir Berbisik dan Bukit Teletubies terletak di belakang kawah bromo. Pertama-tama kami melewati daerah Pasir Berbisik, lautan pasir yang sangat luas, sesekali ban mobil kami slip di pasir, untungnya si supir sudah berpengalaman sehingga perjalanan bisa di lanjutkan. Tiba di bukit teletubies mobil kami berhenti di tengah jalan, si supir memberi kesempatan kepada kami jika ingin berfoto-foto, tapi kami bingung mau foto-foto di mana karena sekeliling adalah alang-alang. Saya tergoda untuk naik ke atas bukit, melihat hijaunya rumput di atas dan sepertinya enak tidur-tiduran di atas bukit sana. Berempat kami menuju atas bukit, menerobos alang-alang yang tingginya sedada. Saya berada paling depan membuka jalan, teman saya yang di belakang mengikuti jalan yang alang-alangnya telah saya rubuhkan dengan cara menginjak bagian pangkal bawahnya. Semakin ke atas rasanya udara makin tipis, berulang kali kami berhenti mengatur nafas sambil memilih jalan yang alang-alangnya lebih pendek. Dari atas mobil pick up kami tampak sudah semakin kecil tak terlihat. Tapi semakin ke atas rasanya alang-alangnya semakin tinggi, sudah mencapai leher, saya jadi ragu untuk melanjutkan perjalanan ke atas, sepertinya rumput hijau yang saya lihat dari bawah adalah alang-alang juga, karena sudah tidak ada lagi tanah datar. Akhirnya kami putuskan untuk turun ke bawah kembali ke mobil, cukup sudah mendakinya sampai di atas sini.
Sesampainya di bawah mobil kami langsung berputar menuju Pasir Berbisik kembali, kali ini kami tidak berhenti karena hari sudah panas dan semua juga udah pada capek  Akhirnya kami langsung pulang menuju Cemoro Lawang untuk kemudian kembali ke kota Malang.

3 komentar:

  1. Mantab. Btw, Mas ikutan Lomba Blog Depok kan, nah di laman ini http://lombablogdepok.com/peserta-lomba-blog-depok disebutkan bahwa Mas belum memasang banner-nya, silakan dicek dan daftar ulang.

    BalasHapus
  2. iya ikut, tapi saya gak tau cara masang bannernya.hahaha....

    BalasHapus