Senin, 01 November 2010

catatan pendakian mahameru



Kalimati, Senin 16 Agustus 2010 pukul 22.00 WIB

Saya terbangun oleh suara para pendaki yang akan bersiap-siap ke puncak, tampaknya malam ini sebagian pendaki sudah terbangun dari tidurnya. Malam itu udara terasa sangat dingin, padahal saya sudah memakai baju lapis dua, sweter, jaket dan berada di dalam sleeping bag saya lengkap dengan sarung tangan dan kaos kakinya, tapi udara dingin masih saja terasa. Saya mencoba menyentuh dinding tenda di sebelah saya, terasa basah oleh embun. Saya lihat teman saya  Nando masih tertidur di samping saya.


Saya mencoba membangunkannya, dan tampaknya dia juga tidak bisa tidur dengan nyenyak sama seperti saya. Udara dingin malam itu, benar-benar membuat saya ingin mengurungkan niat saya pergi ke puncak tengah malam nanti. Jangankan keluar dari tenda, keluar dari sleeping bag saja rasanya malas. Udara malam itu mungkin sudah berkisar 8-10 Derajat Celcius, tapi sudah sampai sejauh ini tidak sampai ke puncak, adalah bodoh sekali. Tujuan saya ke mahameru adalah untuk upacara 17-an di tanah tertinggi pulau jawa ini, dan kalo cuma karena udara dingin saja saya sudah menyerah itu berarti saya harus menunggu 1 tahun lagi untuk bisa ikut upacara 17-an, itupun jika tahun depan saya masih punya kesempatan. Saya berusaha mengingat-ingat pesan pak agus di pos tiga yang terus menyemangati kami untuk bisa sampai ke puncak, dan mengalahkan rasa dingin ini. 


“Ayoo..udara dingin ini cuma ada di pikiran gue aja, pakai semua pakaian yang ada, dan apapun yang terjadi harus sampai ke puncak.” Saya berusaha menyemangati diri saya sendiri.

Akhirnya kami pun mulai memasak makan malam di dalam tenda dengan tetap berada di dalam sleeping bag masing-masing.Setelah perut terisi dan menambahkan pakaian di badan untuk mengurangi rasa dingin, saya pun memberanikan diri keluar tenda. Di luar sudah banyak para pendaki lain yang sudah bersiap siap. Tengah malam itu suasana di pos kalimati mulai terasa ramai, sambil menunggu pendaki lain bersiap-siap saya mencoba menghangatkan diri di api ungun camp penduduk local.

Setelah berkumpul dan berdoa bersama, tepat pukul 12 malam kami pun berangkat menuju Arcopodo dengan daypack berisi bekal seadanya dan senter kecil masing-masing di tangan. Salah seorang yang mengenal jalan berjalan di depan, kadang-kadang kami harus berhenti terlebih dahulu supaya orang yang di depan bisa mensurvey jalan terlebih dahulu. Karena jalan yang kami lalui banyak bercabang dan malam itu sangat gelap. Dari kalimati menuju Arcopodo kami terus berjalan memanjat ke atas, Kadang-kadang jalan yang kami lalui hanya jalan setapak dengan pinggir-pinggirnya adalah jurang yang dalam, saya rasakan udara mulai menipis, saya hanya mengikuti orang yang berjalan di depan saya, di belakang saya kumpulan cahaya-cahaya dari senter para pendaki terlihat di jauh di bawah. Tidak jarang pula kami beristirahat sebentar untuk sekedar merapatkan barisan. Saya bersyukur karena sore tadi saya memutuskan untuk tidak melanjutkan ke Arcopodo, karena melihat medannya yang terus ke atas dengan kondisi sekarang saja yang hanya dengan membawa daypack masih saja terasa berat, apalagi jika sambil membawa carrier entah jam berapa saya bisa tiba di Arcopodo jika melanjutkan perjalanan sore tadi.


Pukul satu pagi kami tiba di Arcopodo, dataran yang tidak terlalu luas dan beberapa tenda menyebar sepanjang jalan menuju puncak. Belum ada tanda-tanda kehidupan dari para pendaki yang ngecamp di arcopodo, hanya terlihat bekas bakar-bakaran di depan tenda masing-masing. Dari arcopodo kami terus ke atas menuju Cemoro lawang, batas vegetasi terakhir menuju puncak Mahameru. Mulai dari sinilah yang dibutuhkan hanyalah keyakinan dan kesabaran untuk bisa menuju puncak Mahameru.

Saya pelan-pelan mulai melangkahkan kaki ke atas menuju puncak mahameru. Satu jam pertama saya bisa terus berdiri dan terus berjalan dengan Nando berjalan di depan saya. tetapi lama-kelamaan saya mulai berjalan merangkak ke atas, setiap tiga langkah kaki ke atas harus turun lagi satu langkah merosot ke bawah. Beberapa kali saya berhenti untuk mengeluarkan pasir yang masuk ke dalam sepatu atau sekedar duduk-duduk mengatur nafas sambil menunggu antrian menuju puncak. Dan lama-lama sepertinya saya terpisah dengan rekan saya ini. Saya mencoba berteriak-teriak memanggilnya, tapi tak ada jawaban. Satu persatu orang-orang yang saya lewati pun bukan dia, tampaknya dia sudah jauh di depan. Sial.., mana logistik ada di tasnya semua. Badan rasanya sudah capai dan perut pun menjadi lapar lagi. Tapi berhenti istirahat sebentar dan duduk bersandar pada sebuah batu besar, malah membuat saya mengantuk. Angin malam itu yang bertiup dingin, panas tubuh yang hilang karena terlalu lama beristirahat, udara yang menipis serta rasa lelah dan lapar membuat membuat mata ini benar-benar terasa berat, di depan saya berdiri dengan kokoh gunung arjuno-welirang dan di bawah saya terhampar hutan-hutan di sekitar mahameru dan cahaya lampu senter para pendaki yang sedang mendaki ke atas sini. Orang gila mana yang jam 2 pagi di saat orang-orang sedang asik tidur di balik selimutnya, tapi kami malah asik mendaki ke puncak tertinggi pulau jawa untuk menghadiri upacara 17-an di atas sana, sekedar mencari kepuasan batin. Saya mencoba melihat ke atas siapa tahu puncak sudah terlihat, tapi yang ada malah saya tidak bisa membedakan mana cahaya bintang dengan cahaya lampu senter dari orang-orang di atas saya. Saya mencoba bertanya ke orang di dekat saya puncak mahamerunya, tapi kebanyakan dari mereka ternyata sama-sama baru pertama kali mendaki mahameru. Akhirnya saya hanya bisa terus berjalan merangkak ke atas tanpa tahu kapan akan sampai,

“Nanti juga ketemu puncaknya, jalan aja terus ke atas” kata-kata itu terus ada di pikiran saya.

Dua jam tiga jam saya masih terus berjalan merangkak ke atas, makin ke atas sudah banyak para pendaki yang bergeletakan tidur-tiduran di sepanjang jalan, malah saya sempat temukan ada pendaki yang tidur beneran kalau tidak saya bangunkan untuk jalan lagi. Saya buang jauh-jauh pikiran kalo jalan ini gak ada ujungnya, saya tetap yakin kalo di atas sana ada dataran yang luas di puncak, walaupun di atas saya masih ada puluhan lampu senter yang masih terus bergerak ke atas. Jam 5 pagi hari mulai terang, sinar matahari di timur pun sudah mulai kelihatan, tapi puncak masih saja belum keliatan. Beberapa orang di sekitar saya sudah mulai bilang kalo puncak sudah mulai dekat, saya pun mulai memperbaiki ritme jalan saya yang tadinya 3 langkah jalan istirahat 3 menit, menjadi 10 langkah jalan istirahat 3 menit. Menjelang pukul enam pagi saya mulai melihat tebing batu dan seseorang berdiri di atasnya, sepertinya itu adalah puncaknya. Malah saya sempat berpapasan dengan orang yang sudah turun lagi dari puncak, saya semakin mempercepat langkah kaki saya ke atas dan akhirnya sampai juga di puncak tertinggi pulau jawa tepat pukul enam pagi, masih ada waktu satu jam sebelum upacara dimulai tepat pukul tujuh. Tiba di puncak orang di atas tebing itu menyapa saya dengan pertanyaan apa saya melihat temannya seorang wanita dari jakarta di bawah sana, saya cuma bisa menggelengkan kepala sambil menjawab mungkin masih di bawah. dalam hati “makanya mas, punya temen baru pertama kali ke semeru jangan di tinggal”, padahal saya juga korban di tinggal teman saya duluan ke atas. Saya jadi ingat rekan saya Nando,

“Brengsek.., gue cuma kangen sama logistik yang dia bawa, sama orangnya sih bodo amat. hahaaa...”

Di atas bener saja tuh anak lagi asik makan biskuit dan agar-agar sama yang lainnya, karena lapar langsung saja saya makan cokelat yang kerasnya kaya batu saking bekunya. Walaupun matahari bersinar terik tapi udara terasa sangat dingin, seandainya pagi itu tidak ada upacara 17-an di atas sini rasanya pengen buru-buru lagi turun ke bawah. saya berusaha menahan rasa dingin yang menembus jaket lapis dua saya, saya pun mencoba merapatkan mulut yang sudah menggigil kedinginan,

“Tenang, tubuh saya hanya perlu menyesuaikan diri dengan suhu di atas mahameru, cuma satu jam doang saya harus bertahan” saya mencoba menyemangati diri saya sendiri.

Teman saya yang dari jogja malah lebih ekstream, dia hanya memakai baju selembar, celana pendek dan sendal gunung, entah kulitnya terbuat dari apa. Saya perhatikan ternyata orang-orang yang sudah sampai di puncak cuma sedikit, kemana orang-orang yang tadi antri di sepanjang jalur pendakian, dan sampai upacara selesai pun yang sampai puncak mungkin cuma sekitar 40 orang. Apa yang lainnya memutuskan untuk turun tidak sampai puncak? Entah.

Tepat pukul tujuh upacara di mulai, kami berdiri mengelilingi tiang bendera. Ketika mendengarkan lagu kebangsaan Indonesia di nyanyikan di atas sini sambil menyaksikan bendera merah putih dikibarkan, benar-benar membuat saya terharu. Baru kali ini saya benar-benar menghayati setiap proses pengibaran bendera tanggal 17 agustus ini. Saya jadi teringat awal-awal keberangkatan dari jakarta, 20 jam di kereta Mataremaja, kemalaman di pos 3 ranukumbolo dan sampai tiba di pos kalimati, rasanya tidak percaya bisa juga menghadiri upacara 17-an di tanah tertinggi pulau jawa ini, sesuatu yang sudah lama saya impikan. Di atas tanah puncak mahameru ini, saya semakin mencintai tanah air saya sendiri Indonesia. Semangat Nasionalisme seperti ini sepertinya hanya dapat di rasakan di atas gunung, di balik rimbunnya hutan-hutan dan di balik dinginnya kabut. Terima kasih mahameru atas pelajaran yang kau berikan untuk selalu optimis dan tidak putus asa.




Mahameru

Yang mencintai udara bersih
Yang mencintai terbang burung-burung
Yang mencintai keleluasaan dan kebebasan
Yang mencintai bumi

Mereka mendaki ke puncak gunung-gunung.
Mereka tengadah dan berkata, kesanalah Soe Hok Gie & Idhan Lubis pergi
Kembali ke pangkuan bintang-bintang.

Sementara bunga-bunga negeri ini tersebar sekali lagi
Sementara saputangan menahan tangis
Sementara Desember menabur gerimis

24 Desember 1969


6 komentar:

  1. nice terutama pas endingnya,, :)

    "Di atas tanah puncak mahameru ini, saya semakin mencintai tanah air saya sendiri Indonesia. Semangat Nasionalisme seperti ini sepertinya hanya dapat di rasakan di atas gunung, di balik rimbunnya hutan-hutan dan di balik dinginnya kabut. Terima kasih mahameru atas pelajaran yang kau berikan untuk selalu optimis dan tidak putus asa."

    sumpah.. gw ngakak abis baca cerita lo yang ditinggal nando,,eh orangnya beneran lagi santai2 makan biskuit di puncak..
    kocak ndi.. hahahahaha.... ;D

    BalasHapus
  2. hahahaa... ngeselin abis emang tuh anak, makanan-minuman di tas-nya semua. tas gue cuma isinya jaket sama selembar bendera.

    BalasHapus
  3. keren nih semerunya .. giliran saya kapan ya

    BalasHapus
  4. coba aja rencanakan datang mengunjungi mahameru, kalo belum berani sampai puncak. sampai ranukumbolonya juga gak papa.hehee..

    BalasHapus